PERWUJUDAN KEDAULATAN LAUT DI ACEH BERBASIS HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA MENURUT PERSPEKTIF HUKUM LAUT INTERNASIONAL

  • Muhammad Heikal Daudy Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah, Banda Aceh, Aceh
Keywords: UUPA, Hak Ekonomi Sosial Budaya, Hukum Laut Internasional

Abstract

Perairan laut Aceh yang berada di antara Selat Malaka (pesisir timur) dan Samudera Hindia (pesisir barat) menempatkan daerah ini berhadapan langsung dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan Asia Selatan. Laut Aceh merupakan aset besar yang berperan sebagai sumber kekayaan alam, sumber energi, sumber bahan makanan, media lintas laut antar pulau, kawasan perdagangan, dan wilayah pertahanan keamanan. Diakui bahwa perhatian masyarakat Aceh terhadap potensi wilayah lautnya semakin berkembang. Kecendrungan ini dipengaruhi oleh perkembangan pembangunan yang dinamis yang mengakibatkan semakin terbatasnya potensi sumber daya di darat. Pengaruh lainnya adalah perkembangan kemaritiman secara nasional sehingga memberikan kemudahan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya laut. Sementara itu, pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya laut masih menghadapi kendala klasik berupa kendala teknis dan kendala struktural. Sehingga permasalahan yang berpotensi muncul dari dua kendala tersebut, sejatinya mampu diantisipasi dengan mengoptimalisasi pemanfaatan potensi sumber daya lokal secara bijak. Untuk alasan tersebut, maka pemahaman yang komprehensif dalam kerangka pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) cukup relevan untuk dijadikan tolok ukur, dan ini menjadi tanggungjawab negara (state responscibility). Kerangka HAM yang dimaksud sebagai bentuk pendekatan dalam mewujudkan kedaulatan laut di Aceh dalam konteks ke-Indonesiaan adalah melalui pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob). Penilaian selama ini, bahwa Pemerintah Republik Indonesia bersama-sama dengan Pemerintahan Aceh yang seharusnya bertanggungjawab untuk memenuhi hak tersebut cenderung belum maksimal dalam memainkan fungsinya selama ini, meskipun mempunyai peran yang sangat besar di dalamnya. Oleh karena tanggungjawab negara tersebut, pada dasarnya tidak dapat dikesampingkan sebagaimana mandat Konvensi Internasional Hukum Laut (HUKLA) 1982; Konvensi Hak Ekosob 1976; serta Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Pun demikian pemahaman yang komprehensif oleh Pemerintahan Aceh mengenai prinsip-prinsip pemenuhan hak Ekosob sebagai payung kebijakan atau ‘guideline’ dalam membangun sektor perikanan dan kelautannya yang berbasis kepada sumber daya lokal. Akan menjadi modal utama dalam mengembangkan potensi kelautan (ocean economics) dan mendorong terjadinya demokratisasi dan keadilan sosial, demi mensejahterakan rakyat Aceh, khususnya peningkatan kualitas kehidupan para nelayan.

Published
2017-09-21
Section
Articles